Entri Populer

Kamis, 21 November 2013

Fakta Unik Ikan Buntal (Blow Fish)


Ikan Buntal
Sering mendengar kata “ Ikan Buntal “ . Tapi ada beberapa ke anehan dari dalam diri ikan buntal loh, apa saja sih? Berikut saya akan membahas tentang “ Ikan Buntal “ ini . .
Ikan Buntal , ikan ini sering dikenal bentuknya yang lucu ketika Menggembung. Tapi, tidak banyak yang tahu kalau ternyata ikan yang dikenal dengan sebutan nama Blowfish ini termasuk berbahaya. Mengapa? Dikarenakan di dalam tubuhnya itu memiliki Racun pada setiap duri yang keluar ketika ikan ini menggembung. 
Ikan mungil Pemakan daging
Ikan yang kelihatannya imut ini ternyata masuk ke dalam kategori Kelompok Karnivora atau Pemakan daging. Tinggal di wilayah Samudera Hindia, Atlantik dan Pacific. Ikan buntal punya gigi yang menyatu tajam yang dipakai untuk menghancurkan mangsanya. Beberapa hewan yang menjadi makanan ikan buntal ini adalah Bulu Babi, Ganggang, Udang, Kepiting, dan Kerang-kerangan.
Bertahan dengan Menggembung
Karena tidak terlalu jago berenang, karena di sebabkan bentuknya yang bulat, ikan ini dikenal dengan nama Puffer Fish ini sering sekali dapat ancaman. Maka dari itu, supaya tidak jadi santapan ikan lain, ikan ini bertahan dengan cara memasukkan banyak air ke dalam tubuhnya dan menggembung. Ketika menggembung, ukuran tubuh ikan buntal ini mencapai dua atau tiga kali lipat daripada ukuran normalnya. Ketika menggembung, duri-duri beracun pada tubuhnya itu keluar dan mengeras.
Racun Kuat
Racun yang terdapat pada duri-duri ikan buntal ini bukan racun kelas bulu. Pasalnya, racun yang ada pada seekor ikan buntal bisa membunuh 30 Orang Dewasa, Gawat kan? Maka dari itu, kita harus hati-hati kalau bertemu dengan ikan di laut. Anehnya, ikan ini justru dijadikan hidangan yang disebut Fugu di Jepang . Hidangan ini termasuk mahal karena butuh keahlian khusus buat memasaknya sehingga kita tidak meninggal keracunan setelah memakannya.

Sabtu, 09 November 2013

Cerita Singkat




HUJAN PERTAMAKU

Sang surya mulai meninggi dan dengan angkuhnya memamerkan kehebatannya memanggang bumi, tepatnya kota Seattle yang mungil ini. Teriknya yang panas tak mampu mengusikku karena aku duduk di mobil ber-AC yang sengaja kuparkir sembarangan di bahu jalan. Tak peduli dengan suara-suara mobil lain yang mengklakson dengan sumpah serapahnya. Tak peduli dengan pandangan aneh yang tertuju di mobilku, aku malah memperhatikan hiruk-pikuk kota di luar sana. Lihatlah, kota kecil ini sangat hidup. Kafe yang menjual air dingin di seberang jalan ramai dengan manusia yang ingin memuaskan dahaganya, sementara toko sebelahnya yang menjual berbagai pernak-pernikpun tak kalah ramai.Taman buatan yang tepat berada di seberang kafe itu juga terlihat ramai oleh keluarga-keluarga yang sengaja datang berpiknik.Yang muda membawa hadiah untuk yang tua dan yang tua dengan senang hati mempersembahkan senyum dan pelukan terhangatnya untuk yang muda.Tak jarang juga ada yang sampai menitikkan air mata. Sungguh aku bisa melihat semua tempat di sudut kota ini sama. Sama-sama hidup oleh cinta dan kasih sayang. Mereka bahagia dan membisikkan ucapan selamat satu sama lain. Bagaimana dengan aku? Ah, masa bodoh dengan itu.
Kulempar pandanganku pada seorang anak kecil berpakaian merah cerah yang berhenti di samping depan mobilku.  Rambutnya pirang tergerai lurus sepundak, kurasa usia gadis kecil itu baru tujuh tahun. Ia berhadapan dengan seorang perempuan muda berwajah serupa__kurasa ibunya__. Entah apa yang membuatku tertarik pada mereka, sehingga aku menurunkan sedikit kaca mobil agar mendengar percakapannya.
“Selamat Hari Ibu, Mom. Terima kasih sudah membangunkanku tiap pagi,” Senyum polos dan tulus gadis kecil itu membuat ibunya berjongkok dan memeluknya.
Dari mulut ibunya aku bisa menangkap ia membisikkan kata “Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu,” disertai mata berkaca-kaca dan melepas pelukannya.Aku melihat gadis mungil itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Kenapa menangis, Mom?Aku punya hadiah untukmu, ini adalah lollipop spesial dari peri gigi di toko itu. Katanya ini untuk orang spesial dan bagiku Mom special.”Aksen Inggrisnya yang masih lucu membuat Ibunya tersenyum.Ia bahkan menitikkan air mata dan menggendong anaknya dengan bangga.
Aku tertegun menyaksikan kejadian itu.Penglihatanku seketika kabur dan mataku menitikkan cairan bening. Aku menangis. Rasanya tak masuk akal aku menangis karena kejadian itu, tapi hatiku berkata lain. Hatiku terasa perih. Tubuhku kini bak lapisan kaca tipis yang terhantam kerikil tajam berkali-kali. Pecah berkeping-keping.Aku terlalu rapuh hari ini. Hari ini adalah hari yang menjadi kebahagiaan bagi setiap keluarga yang beruntung.Seharusnya aku juga bahagia dan ada di antara meraka, seperti tahun kemarin. Merayakan hari ibu.
Aku memilih pergi mengalihkan perhatianku dari suasana gembira yang entah mengapa membuatku sedih.Tempat yang selalu kukunjungi saat hatiku kacau. Hanya butuh setengah jam untuk mencapai tempat tujuan karena laju mobil yang kencang.
Suara air beradu dengan pasir menimbulkan bunyi deburan yang familiar di telingaku. Udara pantai yang sedikit asin berpadu dengan angin laut memenuhi paru-paru yang memberi efek menenangkan. Pohon kelapa melambaikan tarian selamat datang seoalah menyambutku.Tak banyak orang berkunjung di sini, atau bisa dibilang tidak ada.Aku biasa menghabiskan sore akhir pekanku di sini sendirian membayangkan apapun yang menenangkan dan bisa mengalihkan perhatianku.Di pantai ini aku sering melamun.Mengosongkan pikiran dengan mata terpejam adalah sebuah kenikmatan sendiri bagiku.Tak jarang pula aku berdiri terlentang dengan rambut berkibar sambil berteriak.
***

“Boleh aku duduk di sampingmu?”Suara lembut seseorang membuyarkan lamunanku di tengah deburan ombak yang mengalun.
Aku belum menguasai diriku sepenuhnya.Tanganku secara reflek mengusap kedua mataku yang lembab. Sesosok tubuh berdiri tegak hanya selangkah di depanku. Ia mengenakan celana kasual selutut dan kaos oblong coklat. Ia bahkan tak mengenakan alas kaki, menjijikkan. Semua laki-laki menjijikkan. Merasa terganggu aku bangkit dan berbalik menjauh, aku tak menghiraukannya dan berjalan secepat mungkin. Tetap saja, ia bisa menyusulku dan berjalan sejajar denganku. Aku semakin kesal dan berhenti. Kutatap wajahnya dengan tegas dan mengisyaratkannya menyingkir, tapi ia malah tersenyum seolah menertawakanku.
“Apa yang kau lakukan dengan membuntutiku? Jangan macam-macam dengan perempuan sepertiku!” Dengan tegas kutekankan kata terakhir pada kalimatku agar terdengar ketus.
Menyebalkan sekali karena ia malah melebarkan senyumannya dan mengamati tubuhku dari ujung kaki sampai ubun-ubunku.
“Jessica Anderson, nama yang bagus. Sayangnya, kau tak sehebat namamu.”
Sial, bagaimana ia tahu nama lengkapku sementara aku sendiri tak pernah melihat wajahnya sekalipun. Apakah kisah hidupku yang terlalu tragis ini membuat semua orang mengenalku. Aku rasa ada yang tidak beres dengan otak orang yang berdiri di depanku. Parahnya, aku tak bisa membedakan mana pria baik dan mana pria kriminal karena semua pria di mataku sama.
“Bagaimana kau tahu nama lengkapku? Apakah aku mengenalmu?”Suaraku bergetar karena gugup. Memalukan sekali, aku bisa menebak ia akan mengejekku lagi.
“Tentu saja kau tak mengenalku karena kau terlalu sombong.Bahkan kepada teman sekelasmu di pelajaran musik. Kenalkan aku Davin Netarez, teman sekelasmu.” Ia mengulurkan tangannya dengan senyuman. Tidak, kali ini bukan mengejek tapi bersahabat. Dari sorot matanya aku bisa melihat kehangatan dan ketulusan.
“Aku harus pergi sekarang. Ada hal lain yang harus kukerjakan.” Senyumku tergambar sinis dan dingin.Aku bahkan tak menerima uluran tangannya yang sempat membuatku goyah.
Aku berhasil membuatnya bergeming.Rasanya puas sekali bisa membuat seorang pria yang sok kenal itu malu. Bukan hanya malu telah kusepelekan, aku yakin ia menyesal mengetahui namaku. Aku melenggang bangga, bergidik geli.
***
Hujan. Gemerisik air yang jatuh menimpa atap kamar membangunkanku dari mimpi indah di surga. Di luar sana, deraian titik hujan menindas ganas apapun yang ada di bawahnya. Mereka tak kenal ampun dengan menumpahkan segala kekesalan langit pada bumi. Kemana perginya mentari pagi yang menampakkan cahaya keemasannya? Aku merindukan kehangatan pancaran menenangkan itu, bukan suara rusuh air yang suram.
“Aku benci hujan,” jeritku di meja sarapan.
Natalie, asisten pribadiku, mendengus karena ulahku. Tentu saja ia harus mengantarku ke sekolah karena pembantu di rumahku semuanya wanita dan tak bisa menyetir.
“Well, ingat hari ini kita harus meeting dengan pemilik perusahaan dari Bali, lalu kau harus bertemu Mrs.Fanni saat dinner, menj-”
“Sampai jumpa nanti. Jangan lupa untuk menjemputku jam tiga.” Aku sengaja membuka pintu mobil lebih awal. Natalie benar-benar membosankan di saat seperti ini.
Hujan benar-benar tak mau mengalah, untung saja aku membawa payung besar hitam legam.
“Hai nona manis. Kau terlihat lebih normal dengan pakaian ini.” Suara itu lagi.
Sial, sekali hari ini.Diawali dengan hujan ditambah pria menjijikkan yang lagi-lagi mengusikku. Aku berhenti. Tingkahnya kembali sok kenal, berdiri disampingku. Ya Tuhan, aku benar-benar tak rela satu payung dengannya.
“Kau basah! Bisakah kau menyingkir dari payungku?” Aku mengatur suaraku agar terdengar datar.Menjijikkan.
Aku tak tahu mengapa ada pria aneh seumuranku yang rela tubuhnya basah diserang hujan. Benar-benar menggelikan. Rambutnya yang berwarna tembaga terlihat hangat tersiram dinginnya hujan.
“Apa yang akan kau lakukan dengan payungku, Davin?”Suaraku yang meninggi tertelan oleh ributnya hujan.
Ia mengambil alih payungku dan membuangnya kebelakang kami. Aku tersentak saat kulitku menyentuh air hujan. Dingin. Percuma aku menghindar karena air hujan dengan bengisnya menyerangku, membuat seluruh tubuhku basah kuyup.
“Apakah kau bisa merasakan sensasinya? Lihatlah, dibalik air hujan tersembunyi berbagai warna kehidupan yang menjanjikan. Kau melihatnya, Jess?” Ia menengadah melihat langit. Ia seperti seorang pecandu yang sangat menikmati hujan, “Air hujan ini sangat menyejukkan hati dan membersihkan jiwa. Jadi untuk apa kau berlindung di bawah payung hitammu?” Kali ini matanya menatap jauh ke dalam mataku.Ia seolah bisa melihat ketakutanku pada hujan di sana.
“Kau adalah pria konyol yang menjijikkan.Hujan itu kotor, ia tak sesuci bayanganmu, Davin!”Gerutuku kesal.
“Tak selayaknya kau menumpahkan kekesalanmu kepada hujan. Itu tak membuatmu lebih baik karena kesalahan yang sudah terjadi. Semua yang kau lihat belum tentu benar karena kau melihat tanpa hati, Jess. Hatimu sudah membeku karena dingin yang kau buat sendiri.” Davin seolah berkata pada dirinya sendiri. Aku tak bisa menebak ekspresi wajah dan nada bicaranya. Lebih baik jika aku mencari atap untuk berlindung.
Ini adalah hujan pertamaku. Hujan pertamaku ketika aku harus satu payung dengan laki-laki bernama Davin. Ia juga menjadi pria pertama yang sukses membuatku basah kuyup. Ini juga hujan pertamaku sejak aku kehilangan “dia”.
Kepalaku berat. Tetesan air tetap mengikuti langkahku. Lihatlah, aku menjadi pusat perhatian sekarang. Gara-gara hujan sialan dan ulah Davin yang kekanak-kanakan, Jessica Anderson dikeluarkan karena bajunya basah. Orang-orang di kelas kalkulus menertawakanku. Sebenarnya aku tak masalah mereka menertawakanku, karena aku tak kenal mereka. Seperti kataku pada Davin kemarin sore bahwa aku mempunyai urusan lain yang harus kukerjakan dan tentunya lebih penting.
Hujan belum juga berhenti sekarang. Tampaknya mereka tak puas menertawakan kesialanku pagi ini. Aku duduk di halaman belakang sekolah yang sepi.Tempat yang aman dari hujan dan manusia pengganggu.
“Natalie, bisakah kau menjemputku sekarang?”Suara di ujung sana meninggi.
“Tidak.Sekolahku diliburkan karena semua gurunya diundang seminar,” Kuakhiri pembicaraanku dengan desahan kecewa.
Natalie tak bisa menjemputku karena ia harus menemui rekan kerjanya untuk bekerja sama dengan perusahaanku. Ia adalah perempuan kepercayaanku di perusahaan. Aku sudah menganggapnya seperti kakak perempuanku.
“Ternyata Jessica Anderson adalah seorang pembolos yang ulung.Aku salut dengan perempuan sepertimu.”Aku tersentak.Lagi-lagi dia.
“Aku tidak membolos.Ini semua karena ulah kekanak-kanakanmu, Davin. Apa kau sengaja membuatku dikeluarkan konyol dari kelas kalkulus karena bajuku basah?”Aku berdiri menghampirinya kesal.
Menyebalkan sekali aku harus berkali-kali berbicara pada pria tak punya hati bernama Davin.Aku benar-benar berada di puncak emosiku sekarang.Mataku lembab oleh cairan bening yang hendak keluar.Tidak. Aku tak boleh menangis di depan pria ini. Bisa-bisa ia akan tertawa puas selamanya jika itu terjadi.
“Kau tahu, ini adalah catatan buruk yang pertama selama aku bersekolah di sini. Bahkan aku berusaha untuk tidak pernah menarik perhatian semua orang,termasuk kau.” Aku terus menumpahkan kekesalanku kepada pria yang sedari tadi bergeming di depanku.
“Ikut aku sekarang.Kau harus tahu sesuatu di balik ini semua, Jess.Percayalah, kau terlihat lebih cantik sekarang, tepatnya lebih hidup.”Ia menarik tangan kananku. Hanya beberapa langkah ke depan ia berhenti. Ia benar-benar sudah gila membawaku kembali ke hujan. Aku seperti seorang tawanan yang ia persembahkan kepada hujan.
“Kenapa kau senang sekali membuatku kesal, apa salahku padamu, Davin?”Suaraku kalah oleh derasnya hujan. Mungkin ia tidak menyadari aku menangis sekarang. Aku benar-benar lelah menghindar.Aku lelah berdebat.Aku lelah bersandiwara.Aku lelah, Davin.
“Jess, bisakah kau membuka sedikit saja hatimu untuk merasakan hujan?Aku mohon kali ini saja.Aku yakin kau bisa melakukannya.”
“Aku muak, Davin.Aku benci hujan.Kau tak tahu apapun tentangku, jadi biarlah aku pergi dan jangan ganggu aku lagi.”Suaraku parau.Aku berbalik hendak meninggalkan Davin.
“Aku tahu semua tentangmu, Jess.Ibumu, Mrs. Merenia Anderson meninggal dalam kecelakaan tahun lalu dan ayahmu  menghianati ibumu saat kau masih menginjak tahun ketiga di lanjutan pertama.”Suara Davin berubah menjadi petir yang memekakkan telingaku.
Aku bergeming.Hatiku hancur seketika.Sudah lama aku berusaha menyembuhkan luka hatiku, tapi kini seorang pria dengan mudahnya meneteskan perasan air jeruk di atasnya.Perih.Aku benar-benar tak bisa bersandiwara lagi.Benteng yang kubangun untuk bersembunyi dari rasa hampa dan sedihku kini hancur oleh petir yang baru saja menyambarku.
“Bagaimana kau tahu semua itu, Davin?Aku selalu menampakkan wajah baik-baik saja pada semua orang.Apa kau mengenal ibuku?”Tatapanku memohon. Aku sangat ingin tahu bagaimana ia tahu semua itu.
Davin kembali menyeretku duduk di tempat semula.Ia mengambil jaket dari tasnya dan memberikannya padaku dengan senyuman yang tulus. Entahlah mungkin aku sudah gila oleh tingkah anehnya.
Pikiranku berkelana menyusuri kejadian tahun lalu, tepatnya liburan musim panas tahun lalu.Saat itu aku sedang kesal karena ibuku sibuk dengan pekerjaannya.Pagi hari yang mendung dan berkabut, suasana ruang makan sedikit tegang.Aku tak dapat waktu bersama ibuku bahkan saat kami sedang sarapan.Ibuku asyik dengan teleponnya.Aku pergi meninggalkannya karena kesal. Entah setan apa yang merasukiku, aku pergi meninggalkan ibuku mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Hujan lebat mengguyur jalanan seolah menertawakan keberhasilannya membawaku pergi jauh dari ibuku.
Aku sangat menyesal sampai sekarang karena kenangan buruk itulah yang memisahkanku dari wanita yang sangat kucintai.Ibuku meninggal kecelakaan saat mencariku.Hujan lebat membuat ibuku tidak bisa melihat jalan dengan jelas.
“Kau tak tahu tepatnya kecelakaan itu terjadi.Aku ada di tempat kejadian saat itu Jess.Menyaksikan Mercedes ibumu menabrak pembatas jalan dengan mata kepalaku sendiri.”Aku bergidik ngeri membayangkan ucapan Davin.
Ia berkata ibunya sempat sadar dan bercerita singkat tentang hidupnya saat Davin membawanya ke rumah sakit. Aku emnyimak ceritanya dengan air mata yang tak kunjung reda. Padahal hujandi luar sana sudah mulai menyerah.
“Aku ingat sekali kata-kata terakhirnya, ‘Beruntung sekali anak gadisku mempunyai teman sebaik kamu.Sampaikan permintaan maafku pada Jessica dan katakan bahwa aku menyesal.Aku percaya padamu, Davin.’ Aku yakin ibumu di surga sedih melihat putri semata wayangnya hidup tidak normal ” Aku terkejut mendengar kalimat Davin yang terakhir.
“Tidak normal?”Antara sadar dan tidak aku melontarkan kalimat terakhirnya sebagai pertanyaan.
“Maksudku, kau seperti tak menikmati hidupmu.Kau hanya bersandiwara sementara hatimu membeku.Aku menyadari itu karena aku sering melihatmu di pantai sendiri.Diam. Saat itu kau mengerikan seperti sesosok makhluk immortal, vampire.”Penjelasan Davin melayang, tak bisa tercerna otakku dengan baik.
Aku tak bisa menguasai pikiranku karena emosiku.Perlahan cahaya di sekitarku meredup dan hilang.Semuanya terasa gelap, membingungkan. Ada secercah cahaya ddi depanku yang berpendar. Cahaya itu semakin lama semakin jelas sehingga aku bisa melihatnya. Wajah ibuku yang tersenyum. Sangat cantik, bahkan aku belum pernah melihatnya secantik ini sebelumnya. Aku berusaha menyentuh wajahnya, namun cahaya itu semakin lama semakin terang. Sangat terang sehingga mataku terasa sakit. Aku terpejam. Entahlah….
***
Hanya ada wajah Natalie di kamarku.Ia terlihat lelah dan khawatir. Rasanya kepalaku pening dan tubuhku panas.
“Di mana Davin?”Aku tak sadar telah menanyakan namanya pada Natalie yang tak tahu apapun.
“Di luar, akan kupanggilkan sebentar.”Nadanya datar tak tertebak.
Tak berselang lama, Davin masuk kamarku tanpa menutup pintu.Sikapnya sangat sopan membuatku tersenyum.
“Terima kasih,” ucapku setelah ia duduk di kursi tak jauh dari ranjangku.
“Ini benar-benar senyum dan ucapan terima kasihmu yang pertama semenjak kau-,” Davin menghentikan kalimatnya ragu-ragu dan menatapku.Tatapan hangat seperti tatapan lelaki yang dulu sempat menjadi ayahku saat aku kecil.
“Sekali lagi terima kasih telah membangunkanku dari kebekuan hati yang kubuat sendiri dan juga terima kasih telah menolong ibuku.”Aku canggung.
“Syukurlah, akhirnya wajahmu bisa merah merona.Aku sekarang sudah yakin kalau Jessica Anderson adalah seorang manusia.”Ia terkekeh. Aku juga tertawa geli membayangkan betapa konyolnya Davin saat mengira aku seorang vampire.
“Imajinasimu berkelana terlalu liar, Davin.”
Tuhan mempunyai rencana lain dibalik sikap Davin yang awalnya kukira menyebalkan. Ia adalah seorang pria baik yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan hidupku yang tak bermakna sejak aku kehilangan ibuku. Lewat hujan pertamaku ini ia berhasil menyelamatkanku dari kehampaan hidup. Davin pulalah yang menjadikan matahari yang telah lama pergi, kini kembali. Dengan sinar keemasannya yang hangat hatiku kembali mencair.Mencair dari kebekuan yang telah kubuat sendiri.
Davin benar, dibalik dinginnya hujan tersimpan hangatnya warna kehidupan yang menjanjikan.Kini aku bisa melihat warna itu berpendar cerah menawan.Sorot mata Davin yang hangat dari bola matanya yang biru.Aku merindukan ayahku.
Davin, maukah kau mengajakku ke rumahmu? Aku merindukan ayah.”
Saat ini hujan yang mennguyur bumi tak terasa dingin, melainkan hangat, seperti saat mentari menyinari dengan cahaya keemasannya. Aku tak melihat air hujan lagi. Aku tak bisa melihat cahaya keemasan mentari. Semuanya sama. Hatiku telah kembali hidup bersama dua laki-laki yang sama, ayahku dan ayahnya dan  tentu saja ia yang telah membuatku merasakan sensasi hujan pertamaku.