HUJAN
PERTAMAKU
Sang surya mulai
meninggi dan dengan angkuhnya memamerkan kehebatannya memanggang bumi, tepatnya
kota Seattle yang mungil ini. Teriknya yang panas tak mampu mengusikku karena
aku duduk di mobil ber-AC yang sengaja kuparkir sembarangan di bahu jalan. Tak
peduli dengan suara-suara mobil lain yang mengklakson dengan sumpah serapahnya.
Tak peduli dengan pandangan aneh yang tertuju di mobilku, aku malah
memperhatikan hiruk-pikuk kota di luar sana. Lihatlah, kota kecil ini sangat
hidup. Kafe yang menjual air dingin di seberang jalan ramai dengan manusia yang
ingin memuaskan dahaganya, sementara toko sebelahnya yang menjual berbagai
pernak-pernikpun tak kalah ramai.Taman buatan yang tepat berada di seberang
kafe itu juga terlihat ramai oleh keluarga-keluarga yang sengaja datang
berpiknik.Yang muda membawa hadiah untuk yang tua dan yang tua dengan senang
hati mempersembahkan senyum dan pelukan terhangatnya untuk yang muda.Tak jarang
juga ada yang sampai menitikkan air mata. Sungguh aku bisa melihat semua tempat
di sudut kota ini sama. Sama-sama hidup oleh cinta dan kasih sayang. Mereka
bahagia dan membisikkan ucapan selamat satu sama lain. Bagaimana dengan aku?
Ah, masa bodoh dengan itu.
Kulempar pandanganku
pada seorang anak kecil berpakaian merah cerah yang berhenti di samping depan
mobilku. Rambutnya pirang tergerai lurus
sepundak, kurasa usia gadis kecil itu baru tujuh tahun. Ia berhadapan dengan seorang perempuan muda berwajah
serupa__kurasa ibunya__. Entah apa yang membuatku tertarik pada mereka,
sehingga aku menurunkan sedikit kaca mobil agar mendengar percakapannya.
“Selamat Hari Ibu, Mom. Terima kasih sudah membangunkanku tiap pagi,”
Senyum polos dan tulus gadis kecil itu membuat ibunya berjongkok dan
memeluknya.
Dari mulut ibunya aku bisa menangkap ia membisikkan kata “Terima kasih, Sayang.
Aku mencintaimu,” disertai mata berkaca-kaca dan melepas pelukannya.Aku melihat
gadis mungil itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Kenapa menangis, Mom?Aku punya hadiah untukmu, ini adalah lollipop spesial
dari peri gigi di toko itu. Katanya ini untuk orang spesial dan bagiku Mom
special.”Aksen Inggrisnya yang masih lucu membuat Ibunya tersenyum.Ia bahkan
menitikkan air mata dan menggendong anaknya dengan bangga.
Aku tertegun menyaksikan kejadian itu.Penglihatanku seketika kabur dan
mataku menitikkan cairan bening. Aku menangis. Rasanya tak masuk akal aku
menangis karena kejadian itu, tapi hatiku berkata lain. Hatiku terasa perih. Tubuhku
kini bak lapisan kaca tipis yang terhantam kerikil tajam berkali-kali. Pecah
berkeping-keping.Aku terlalu rapuh hari ini. Hari ini adalah hari yang menjadi
kebahagiaan bagi setiap keluarga yang beruntung.Seharusnya aku juga bahagia dan
ada di antara meraka, seperti tahun kemarin. Merayakan hari ibu.
Aku memilih pergi mengalihkan perhatianku dari suasana gembira yang entah
mengapa membuatku sedih.Tempat yang selalu kukunjungi saat hatiku kacau. Hanya
butuh setengah jam untuk mencapai tempat tujuan karena laju mobil yang kencang.
Suara air beradu dengan
pasir menimbulkan bunyi deburan yang familiar di telingaku. Udara pantai yang
sedikit asin berpadu dengan angin laut memenuhi paru-paru yang memberi efek
menenangkan. Pohon kelapa melambaikan tarian selamat datang seoalah menyambutku.Tak
banyak orang berkunjung di sini, atau bisa dibilang tidak ada.Aku biasa
menghabiskan sore akhir pekanku di sini sendirian membayangkan apapun yang
menenangkan dan bisa mengalihkan perhatianku.Di pantai ini aku sering
melamun.Mengosongkan pikiran dengan mata terpejam adalah sebuah kenikmatan
sendiri bagiku.Tak jarang pula aku berdiri terlentang dengan rambut berkibar
sambil berteriak.
***
“Boleh aku duduk di
sampingmu?”Suara lembut seseorang membuyarkan lamunanku di tengah deburan ombak
yang mengalun.
Aku belum menguasai
diriku sepenuhnya.Tanganku secara reflek mengusap kedua mataku yang lembab. Sesosok
tubuh berdiri tegak hanya selangkah di depanku. Ia mengenakan celana kasual
selutut dan kaos oblong coklat. Ia bahkan tak mengenakan alas kaki, menjijikkan.
Semua laki-laki menjijikkan. Merasa terganggu aku bangkit dan berbalik menjauh,
aku tak menghiraukannya dan berjalan secepat mungkin. Tetap saja, ia bisa
menyusulku dan berjalan sejajar denganku. Aku semakin kesal dan berhenti.
Kutatap wajahnya dengan tegas dan mengisyaratkannya menyingkir, tapi ia malah
tersenyum seolah menertawakanku.
“Apa yang kau lakukan dengan membuntutiku? Jangan macam-macam dengan
perempuan sepertiku!” Dengan tegas kutekankan kata terakhir pada kalimatku agar
terdengar ketus.
Menyebalkan sekali karena ia malah melebarkan senyumannya dan mengamati
tubuhku dari ujung kaki sampai ubun-ubunku.
“Jessica Anderson, nama
yang bagus. Sayangnya, kau tak
sehebat namamu.”
Sial, bagaimana ia tahu nama lengkapku sementara aku sendiri tak pernah
melihat wajahnya sekalipun. Apakah kisah hidupku yang terlalu tragis ini
membuat semua orang mengenalku. Aku rasa ada yang tidak beres dengan otak orang
yang berdiri di depanku. Parahnya, aku tak bisa membedakan mana pria baik dan
mana pria kriminal karena semua pria di mataku sama.
“Bagaimana kau tahu nama lengkapku? Apakah aku mengenalmu?”Suaraku bergetar
karena gugup. Memalukan sekali, aku bisa menebak ia akan mengejekku lagi.
“Tentu saja kau tak mengenalku karena kau terlalu sombong.Bahkan kepada
teman sekelasmu di pelajaran musik. Kenalkan aku Davin Netarez, teman
sekelasmu.” Ia mengulurkan tangannya dengan senyuman. Tidak, kali ini bukan
mengejek tapi bersahabat. Dari sorot matanya aku bisa melihat kehangatan dan
ketulusan.
“Aku harus pergi sekarang. Ada hal lain yang harus kukerjakan.” Senyumku
tergambar sinis dan dingin.Aku bahkan tak menerima uluran tangannya yang sempat
membuatku goyah.
Aku berhasil membuatnya bergeming.Rasanya puas sekali bisa membuat seorang
pria yang sok kenal itu malu. Bukan hanya malu telah kusepelekan, aku yakin ia
menyesal mengetahui namaku. Aku melenggang bangga, bergidik
geli.
***
Hujan. Gemerisik air
yang jatuh menimpa atap kamar membangunkanku dari mimpi indah di surga. Di luar
sana, deraian titik hujan menindas ganas apapun yang ada di bawahnya. Mereka
tak kenal ampun dengan menumpahkan segala kekesalan langit pada bumi. Kemana
perginya mentari pagi yang menampakkan cahaya keemasannya? Aku merindukan
kehangatan pancaran menenangkan itu, bukan suara rusuh air yang suram.
“Aku benci hujan,”
jeritku di meja sarapan.
Natalie, asisten pribadiku, mendengus karena ulahku. Tentu saja ia harus
mengantarku ke sekolah karena pembantu di rumahku semuanya wanita dan tak bisa
menyetir.
“Well, ingat hari ini kita harus meeting
dengan pemilik perusahaan dari Bali, lalu kau harus bertemu Mrs.Fanni saat dinner, menj-”
“Sampai jumpa nanti.
Jangan lupa untuk menjemputku jam tiga.” Aku sengaja membuka pintu mobil lebih
awal. Natalie benar-benar membosankan di saat seperti ini.
Hujan benar-benar tak
mau mengalah, untung saja aku membawa payung besar hitam legam.
“Hai nona manis. Kau terlihat lebih normal dengan pakaian ini.” Suara itu
lagi.
Sial, sekali hari ini.Diawali dengan hujan ditambah pria menjijikkan yang
lagi-lagi mengusikku. Aku berhenti. Tingkahnya kembali sok kenal, berdiri
disampingku. Ya Tuhan, aku benar-benar tak rela satu payung dengannya.
“Kau basah! Bisakah kau menyingkir dari payungku?” Aku mengatur suaraku
agar terdengar datar.Menjijikkan.
Aku tak tahu mengapa ada pria aneh seumuranku yang rela tubuhnya basah
diserang hujan. Benar-benar menggelikan. Rambutnya yang berwarna tembaga
terlihat hangat tersiram dinginnya hujan.
“Apa yang akan kau lakukan dengan payungku, Davin?”Suaraku yang meninggi
tertelan oleh ributnya hujan.
Ia mengambil alih payungku dan membuangnya kebelakang kami. Aku tersentak
saat kulitku menyentuh air hujan. Dingin. Percuma aku menghindar karena air
hujan dengan bengisnya menyerangku, membuat seluruh tubuhku basah kuyup.
“Apakah kau bisa merasakan sensasinya? Lihatlah, dibalik air hujan
tersembunyi berbagai warna kehidupan yang menjanjikan. Kau melihatnya, Jess?” Ia
menengadah melihat langit. Ia seperti seorang pecandu yang sangat menikmati
hujan, “Air hujan ini sangat menyejukkan hati dan membersihkan jiwa. Jadi untuk
apa kau berlindung di bawah payung hitammu?” Kali ini matanya menatap jauh ke
dalam mataku.Ia seolah bisa melihat ketakutanku pada hujan di sana.
“Kau adalah pria konyol yang menjijikkan.Hujan itu kotor, ia tak sesuci
bayanganmu, Davin!”Gerutuku kesal.
“Tak selayaknya kau menumpahkan kekesalanmu kepada hujan. Itu tak membuatmu
lebih baik karena kesalahan yang sudah terjadi. Semua yang kau lihat belum
tentu benar karena kau melihat tanpa hati, Jess. Hatimu sudah membeku karena
dingin yang kau buat sendiri.” Davin seolah berkata pada dirinya sendiri. Aku
tak bisa menebak ekspresi wajah dan nada bicaranya. Lebih baik jika aku mencari
atap untuk berlindung.
Ini adalah hujan pertamaku. Hujan pertamaku ketika aku harus satu payung
dengan laki-laki bernama Davin. Ia juga menjadi pria pertama yang sukses
membuatku basah kuyup. Ini juga hujan pertamaku sejak aku kehilangan “dia”.
Kepalaku berat. Tetesan air tetap mengikuti langkahku. Lihatlah, aku menjadi
pusat perhatian sekarang. Gara-gara hujan sialan dan ulah Davin yang
kekanak-kanakan, Jessica Anderson dikeluarkan karena bajunya basah. Orang-orang
di kelas kalkulus menertawakanku. Sebenarnya aku tak masalah mereka
menertawakanku, karena aku tak kenal mereka. Seperti kataku pada Davin kemarin
sore bahwa aku mempunyai urusan lain yang harus kukerjakan dan tentunya lebih
penting.
Hujan belum juga berhenti sekarang. Tampaknya mereka tak puas menertawakan
kesialanku pagi ini. Aku duduk di halaman belakang sekolah yang sepi.Tempat
yang aman dari hujan dan manusia pengganggu.
“Natalie, bisakah kau menjemputku sekarang?”Suara di ujung sana meninggi.
“Tidak.Sekolahku diliburkan karena semua gurunya diundang seminar,”
Kuakhiri pembicaraanku dengan desahan kecewa.
Natalie tak bisa menjemputku karena ia harus menemui rekan kerjanya untuk
bekerja sama dengan perusahaanku. Ia adalah perempuan kepercayaanku di
perusahaan. Aku sudah menganggapnya seperti kakak perempuanku.
“Ternyata Jessica Anderson adalah seorang pembolos yang ulung.Aku salut
dengan perempuan sepertimu.”Aku tersentak.Lagi-lagi dia.
“Aku tidak membolos.Ini semua karena ulah kekanak-kanakanmu, Davin. Apa kau
sengaja membuatku dikeluarkan konyol dari kelas kalkulus karena bajuku basah?”Aku
berdiri menghampirinya kesal.
Menyebalkan sekali aku harus berkali-kali berbicara pada pria tak punya
hati bernama Davin.Aku benar-benar berada di puncak emosiku sekarang.Mataku
lembab oleh cairan bening yang hendak keluar.Tidak. Aku tak boleh menangis di
depan pria ini. Bisa-bisa ia akan tertawa puas selamanya jika itu terjadi.
“Kau tahu, ini adalah catatan buruk yang pertama selama aku bersekolah di
sini. Bahkan aku berusaha untuk tidak pernah menarik perhatian semua
orang,termasuk kau.” Aku terus menumpahkan kekesalanku kepada pria yang sedari
tadi bergeming di depanku.
“Ikut aku sekarang.Kau harus tahu sesuatu di balik ini semua,
Jess.Percayalah, kau terlihat lebih cantik sekarang, tepatnya lebih hidup.”Ia
menarik tangan kananku. Hanya beberapa langkah ke depan ia berhenti. Ia
benar-benar sudah gila membawaku kembali ke hujan. Aku seperti seorang tawanan
yang ia persembahkan kepada hujan.
“Kenapa kau senang sekali membuatku kesal, apa salahku padamu,
Davin?”Suaraku kalah oleh derasnya hujan. Mungkin ia tidak menyadari aku
menangis sekarang. Aku benar-benar lelah menghindar.Aku lelah berdebat.Aku
lelah bersandiwara.Aku lelah, Davin.
“Jess, bisakah kau membuka sedikit saja hatimu untuk merasakan hujan?Aku
mohon kali ini saja.Aku yakin kau bisa melakukannya.”
“Aku muak, Davin.Aku benci hujan.Kau tak tahu apapun tentangku, jadi
biarlah aku pergi dan jangan ganggu aku lagi.”Suaraku parau.Aku berbalik hendak
meninggalkan Davin.
“Aku tahu semua tentangmu, Jess.Ibumu, Mrs. Merenia Anderson meninggal
dalam kecelakaan tahun lalu dan ayahmu menghianati ibumu saat kau masih menginjak
tahun ketiga di lanjutan pertama.”Suara Davin berubah menjadi petir yang
memekakkan telingaku.
Aku bergeming.Hatiku hancur seketika.Sudah lama aku berusaha menyembuhkan
luka hatiku, tapi kini seorang pria dengan mudahnya meneteskan perasan air
jeruk di atasnya.Perih.Aku benar-benar tak bisa bersandiwara lagi.Benteng yang kubangun
untuk bersembunyi dari rasa hampa dan sedihku kini hancur oleh petir yang baru
saja menyambarku.
“Bagaimana kau tahu semua itu, Davin?Aku selalu menampakkan wajah baik-baik
saja pada semua orang.Apa kau mengenal ibuku?”Tatapanku memohon. Aku sangat
ingin tahu bagaimana ia tahu semua itu.
Davin kembali menyeretku duduk di tempat semula.Ia mengambil jaket dari
tasnya dan memberikannya padaku dengan senyuman yang tulus. Entahlah mungkin
aku sudah gila oleh tingkah anehnya.
Pikiranku berkelana menyusuri kejadian tahun lalu, tepatnya liburan musim
panas tahun lalu.Saat itu aku sedang kesal karena ibuku sibuk dengan
pekerjaannya.Pagi hari yang mendung dan berkabut, suasana ruang makan sedikit
tegang.Aku tak dapat waktu bersama ibuku bahkan saat kami sedang sarapan.Ibuku
asyik dengan teleponnya.Aku pergi meninggalkannya karena kesal. Entah setan apa
yang merasukiku, aku pergi meninggalkan ibuku mengendarai mobil dengan
kecepatan di atas rata-rata. Hujan lebat mengguyur jalanan seolah menertawakan
keberhasilannya membawaku pergi jauh dari ibuku.
Aku sangat menyesal sampai sekarang karena kenangan buruk itulah yang
memisahkanku dari wanita yang sangat kucintai.Ibuku meninggal kecelakaan saat
mencariku.Hujan lebat membuat ibuku tidak bisa melihat jalan dengan jelas.
“Kau tak tahu tepatnya kecelakaan itu terjadi.Aku ada di tempat kejadian
saat itu Jess.Menyaksikan Mercedes ibumu menabrak pembatas jalan dengan mata
kepalaku sendiri.”Aku bergidik ngeri membayangkan ucapan Davin.
Ia berkata ibunya sempat sadar dan bercerita singkat tentang hidupnya saat
Davin membawanya ke rumah sakit. Aku emnyimak ceritanya
dengan air mata yang tak kunjung reda. Padahal hujandi luar sana sudah mulai
menyerah.
“Aku ingat sekali
kata-kata terakhirnya, ‘Beruntung sekali anak gadisku mempunyai teman sebaik
kamu.Sampaikan permintaan maafku pada Jessica dan katakan bahwa aku
menyesal.Aku percaya padamu, Davin.’ Aku yakin ibumu di surga sedih melihat
putri semata wayangnya hidup tidak normal ” Aku terkejut mendengar kalimat
Davin yang terakhir.
“Tidak normal?”Antara
sadar dan tidak aku melontarkan kalimat terakhirnya sebagai pertanyaan.
“Maksudku, kau seperti
tak menikmati hidupmu.Kau hanya bersandiwara sementara hatimu membeku.Aku
menyadari itu karena aku sering melihatmu di pantai sendiri.Diam. Saat itu kau
mengerikan seperti sesosok makhluk immortal, vampire.”Penjelasan Davin
melayang, tak bisa tercerna otakku dengan baik.
Aku tak bisa menguasai
pikiranku karena emosiku.Perlahan cahaya di sekitarku meredup dan
hilang.Semuanya terasa gelap, membingungkan. Ada secercah cahaya ddi depanku
yang berpendar. Cahaya itu semakin lama semakin jelas sehingga aku bisa
melihatnya. Wajah ibuku yang tersenyum. Sangat cantik, bahkan aku belum pernah
melihatnya secantik ini sebelumnya. Aku berusaha menyentuh wajahnya, namun
cahaya itu semakin lama semakin terang. Sangat terang sehingga mataku terasa
sakit. Aku terpejam. Entahlah….
***
Hanya ada wajah Natalie
di kamarku.Ia terlihat lelah dan khawatir. Rasanya kepalaku pening dan tubuhku
panas.
“Di mana Davin?”Aku tak
sadar telah menanyakan namanya pada Natalie yang tak tahu apapun.
“Di luar, akan kupanggilkan sebentar.”Nadanya datar tak tertebak.
Tak berselang lama, Davin masuk kamarku tanpa menutup pintu.Sikapnya sangat
sopan membuatku tersenyum.
“Terima kasih,” ucapku setelah ia duduk di kursi tak jauh dari ranjangku.
“Ini benar-benar senyum dan ucapan terima kasihmu yang pertama semenjak
kau-,” Davin menghentikan kalimatnya ragu-ragu dan menatapku.Tatapan hangat
seperti tatapan lelaki yang dulu sempat menjadi ayahku saat aku kecil.
“Sekali lagi terima kasih telah membangunkanku dari kebekuan hati yang
kubuat sendiri dan juga terima kasih telah menolong ibuku.”Aku canggung.
“Syukurlah, akhirnya wajahmu bisa merah merona.Aku sekarang sudah yakin
kalau Jessica Anderson adalah seorang manusia.”Ia terkekeh. Aku juga tertawa
geli membayangkan betapa konyolnya Davin saat mengira aku seorang vampire.
“Imajinasimu berkelana terlalu liar, Davin.”
Tuhan mempunyai rencana lain dibalik sikap Davin yang awalnya kukira
menyebalkan. Ia adalah seorang pria baik yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan
hidupku yang tak bermakna sejak aku kehilangan ibuku. Lewat hujan pertamaku ini
ia berhasil menyelamatkanku dari kehampaan hidup. Davin pulalah yang menjadikan
matahari yang telah lama pergi, kini kembali. Dengan sinar keemasannya yang
hangat hatiku kembali mencair.Mencair dari kebekuan yang telah kubuat sendiri.
Davin benar, dibalik dinginnya hujan tersimpan hangatnya warna kehidupan
yang menjanjikan.Kini aku bisa melihat warna itu berpendar cerah menawan.Sorot mata
Davin yang hangat dari bola matanya yang biru.Aku merindukan ayahku.
“Davin, maukah kau mengajakku ke rumahmu? Aku
merindukan ayah.”
Saat ini hujan yang mennguyur bumi tak terasa dingin, melainkan hangat,
seperti saat mentari menyinari dengan cahaya keemasannya. Aku tak melihat air
hujan lagi. Aku tak bisa melihat cahaya keemasan mentari. Semuanya sama. Hatiku
telah kembali hidup bersama dua laki-laki yang sama, ayahku dan ayahnya
dan tentu saja ia yang telah membuatku
merasakan sensasi hujan pertamaku.